Mekanisme Pertanian
Mekanisme Pertanian Masih Terganjal Masalah Sosial
Mekanisasi pertanian mulai dari pengolahan lahan, penanaman, pemanenan, hingga pengolahan hasil pertanian belum bisa dijalankan secara optimal karena ada hambatan sosial. Padahal, mekanisasi dapat menekan biaya produksi petani hingga 25 persen.
Menurut Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Astu Unadi, Jumat (1/4) di Jakarta, hingga saat ini mekanisasi pertanian baru bisa berjalan setengahnya, terutama mekanisasi dalam hal pengolahan lahan dan pengolahan hasil pertanian.
Pemrosesan padi dari gabah menjadi beras juga sudah menggunakan mesin, tidak lagi ditumbuk karena bila ditumbuk tingkat kehilangan hasilnya tinggi, kualitas beras jelek, dan biaya tenaga kerja besar serta lamban.
”Meskipun butuh puluhan tahun untuk mengubah budaya, traktor dan mesin penggilingan padi akhirnya diterima petani dan masyarakat,” katanya. Petani sekarang tidak mau lagi mencangkul karena itu pekerjaan berat, begitu pula dengan menumbuk gabah.
Pada tingkatan lain, mekanisasi pertanian sulit berkembang, terutama pada tahap penanaman dan panen.
”Kalau mekanisasi sudah masuk, biaya produksi bisa ditekan lebih rendah sampai 12,5 persen lagi,” katanya.
Sulitnya mekanisasi masuk karena terbentur masalah sosial. Astu mencontohkan, bila menggunakan tenaga manusia untuk penanaman dan panen butuh tenaga kerja 30 orang per hektar per hari dengan upah Rp 40.000 per hari.
Bila menggunakan mesin, selain lebih cepat biaya tanam dan panen bisa ditekan lebih dari separuhnya. Akan tetapi, tenaga kerja akan berkurang banyak.
Investasi mesin pertanian juga sekarang tidak begitu mahal karena sebagian besar sudah diproduksi di dalam negeri.
Mekanisasi penanaman dan pemanenan sulit diterapkan. Bahkan, di beberapa lokasi seperti di wilayah pantai utara Jawa, pernah ada kasus mesin pemanen padi dibakar massa.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir menegaskan, mekanisasi pertanian bisa dijalankan di luar Pulau Jawa karena di sana kekurangan tenaga kerja
Kesimpulan :
Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk pertanian dengan nilai tambah
yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya pada daerah dan
komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Pengalaman negara tetangga
menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut.
Sebagai contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai
swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara
saat ini hanya 38%; suatu perubahan yang tidak terlalu besar dalam periode
15 tahun. Sebaliknya, penanaman padi dari total panen di Malaysia berkurang
setengahnya dari 25% di tahun 1972 menjadi 13% di 1998. Selain itu seperti
tercatat dalam hasil studi baru-baru ini, ranting pemilik usaha kecil/ pertanian
industrial, hortikultura, perikanan, dan peternakan, yang sekarang ini berkisar
54% dari semua hasil produksi pertanian, kemungkinan besar akan
berkembang menjadi 80% dari pertumbuhan hasil agraris di masa yang akan
datang. Panen beras tetap memegang peranan penting dengan nilai sekitar
29% dari nilai panen agraris. Tetapi meskipun disertai dengan tingkat
pertumbuhan hasil yang tinggi, panen beras tidak akan dapat mencapai lebih
dari 10% nilai peningkatan pertumbuhan hasil. Adapun hal- hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah di berbagai bidang yang Diperhatikan yaitu :
1. Memperkuat kapasitas regulasi.
2. Perlu meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih
Lanjut.
3. Meningkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian.
4. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian.
5. Mendukung pertumbuhan ICT
6. Memperbaiki infrastruktur rural.
7. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar